RSS

Kamis, 03 Juni 2010

Distorsi Pertumbuhan Ekonomi

SINYAL bahwa pada tahun 2010 perekonomian Indonesia akan tumbuh lebih tinggi dari yang semula diprediksi pemerintah (5,5 persen) terekam dari data yang dipublikasikan BPS Senin 10 Mei yang lalu.

BPS menunjukkan pada kuartal I tahun ini secara q on q (kuartal I-2010 terhadap kuartal 4- 2009) perekonomian tumbuh 1,9 persen, sedangkan secara y on y (kuartal I- 2010 terhadap kuartal I-2009) tumbuh dengan 5,7 persen.

Catatan sejarah dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I selalu lebih rendah dari kuartal-kuartal selanjutnya. Ini berarti bila tidak ada shock yang destruktif dan pemerintah mau lebih “berkeringat”, pertumbuhan ekonomi pada kuartal-kuartal selanjutnya berpotensi lebih tinggi dari 1,9 persen (q on q) atau 5,7 persen (y on y).Tidak mengherankan bila beberapa analis merasa optimis pertumbuhan ekonomi selama tahun 2010 akan mencapai angka 6 persen-an.

Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan banyak gunanya bila tidak berdampak secara positif terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Esensi pembangunan ekonomi, sebagaimana ditekankan di dalam berbagai literatur, adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat, sebagaimana terindikasi dari berkurangnya kemiskinan dan pengangguran. Kalau demikian permasalahannya, selain mengejar tingkat (kuantitas), lebih penting bagi pemerintah memperhatikan pola (kualitas) pertumbuhan ekonomi.

Pola Pertumbuhan

Terdapat indikasi bahwa pola pertumbuhan ekonomi tidak kunjung mengalami perbaikan. Dari sisi sektoral, seperti terjadi dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2010 lebih banyak didorong oleh sektor non-tradeableyang tidak terlalu menyerap tenaga kerja. Secara y on y, sektor non-tradeable menyumbang 71,9 persen terhadap pertumbuhan ekonomi (4,1 persen dari 5,7). Dalam sektor nontradeable, sektor perdagangan/ hotel/ restoran dan pengangkutan/ komunikasi berkontribusi sangat dominan terhadap pertumbuhan, masing-masing menyumbang 28,1 persen dan 17,5 persen.

Sementara itu, sektor tradeable (pertanian, industri, dan pertambangan) hanya menyumbang 28,1 persen (1,6 dari 5,7) terhadap pertumbuhan. Lebih dari itu, BPS memperlihatkan bahwa secara q on q,terjadi pembusukan peran sektor industri (dan pertambangan) sebagai kontributor penting sektor tradeable. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang negatif (-1 persen).

Cukup beralasan bila peran sektor industri terhadap pembentukan PDB terus menurun dari 27,9 persen (kuartal I-2008), 27 persen (kuartal I-2009), dan hanya 25,4 persen (kuartal I-2010). Selain faktor-faktor yang sifatnya permanen (infrastruktur,biaya birokrasi,biaya bunga),implementasi ASEAN–China FTA (ACFTA) boleh jadi mendorong pembusukan peran sektor industri. Artinya, masuknya barang impor dari China memperlemah daya saing dan menekan kinerja sektor industri di pasar domestik.

Pengangguran dan Kemiskinan

Pada akhir tahun 2014, pemerintah menargetkan angka pengangguran berada pada kisaran 5–6 persen dan angka kemiskinan 8–10 persen. Namun demikian, dengan pola pertumbuhan ekonomi yang terus memarginalkan sektor tradeable, sulit berharap pemerintah akan mampu secara optimal mencapai target-target seperti yang sebelumnya ditetapkan karena beberapa alasan. Pertama, BPS memperlihatkan bahwa kesempatan kerja yang mampu disediakan sektor tradeable (56,6 persen) jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor nontradeable (43,4 persen).

Hal ini berarti bahwa pertumbuhan yang pesat sektor non-tradeable, tetapi justru diikuti dengan pelemahan pertumbuhan sektor tradeable,akan membuat kue pembangunan ekonomi terkonsentrasi dan hanya bisa dinikmati oleh kelompok kecil tertentu. Di sini, kesenjangan pendapatan yang sudah menjadi penyakit kronis perekonomian Indonesia akan semakin bertambah parah, sebagaimana terindikasi dari peningkatan rasio ini dari 0,343 (2005) menjadi 0,357 (2009).

Kedua, semakin dominannya sektor non-tradeable akan membuat elastisitas kesempatan kerja yang tercipta dari setiap persen pertumbuhan ekonomi akan semakin mengecil.Ini terjadi karena beberapa sektor non-tradeable, seperti listrik/gas/air bersih, pengangkutan/ komunikasi, dan keuangan/ real estate/jasa perusahaan, cenderung bersifat capital and technological-intensive.

Ini berarti sangat tidak relevan sean-dainya pemerintah masih mengasumsikan setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan mampu menciptakan kesempatan kerja 400.000–500.000 orang. Dalam kaitan ini,per-hitungan P2ELIPI menunjukkan bahwa elastisitas kesempatan kerja yang tercipta darisetiap1 persen pertumbuhanekonomi berada di kisaran 250.000–350.000 orang. Ketiga, struktur pengangguran mengalami pergeseran yang cukup fundamental.

Misalnya sebagaimana dikemukakan BPS,pengangguran terbuka pada periode Agustus 2009–Februari 2010 menurun dari 7,87 persen (8,96 juta) menjadi 7,41 persen (8,59 juta) atau tumbuh negatif sebesar 4,1 persen. Sayangnya, pada periode yang sama setengah pengangguran mengalami pertumbuhan sekitar 2,7 persen.Demikian halnya, proporsi pengangguran terdidik (tamat Diploma dan PT) cenderung merangkak naik dari 21,28 persen (2004) menjadi 28,33 persen (2009).

Jenis pengangguran terdidik ini akan sulit ditanggulangi oleh program-program yang sifatnya intervensionis,seperti PNPM. Keempat, World Bank (2009) memprediksi bahwa kelompok masyarakat kategori near poor sekitar 42 persen dari total populasi.Tingginya populasi yang berada pada posisi near poor membuat angka kemiskinan sangat volatile.Artinya, penduduk kategori near poor bisa berpindah posisi secara dinamis kadang di bawah atau di atas garis kemiskinan tergantung dari siklus ekonomi dan intervensi pemerintah.

Untuk menekan proporsi penduduk kategori near poor,maka mereka perlu diberi akses untuk memiliki pekerjaan yang sifatnya permanen.Permasalahannya adalah pasar tenaga kerja sektor nontradeable, kecuali perdagangan (informal), cenderung lebih rigid ketimbang pasar tenaga kerja sektor tradeable, khususnya pertanian dan industri.Ini berarti bahwa sektor tradeable-lah yang paling bisa diandalkan untuk menekan penduduk kategori near poor.

Beranjak dari permasalahan di atas, tampak dengan jelas bahwa komitmen pemerintah untuk merestruk turisasi pola pertumbuhan yang bisa memberi ruang bagi sektor tradeable untuk tumbuh secara optimal menjadi agenda yang sangat strategis. Karenanya, pemerintah dituntut mampu sesegera mungkin mengatasi beberapa permasalahan yang membuat sektor tradeable kelimpungan, seperti amburadulnya infrastruktur, bunga kredit yang relatif masih tinggi, birokrasi yang kompleks, pungutan liar, dan peraturan yang tidak pro-bisnis lainnya.

sumber : okezone.com

0 komentar:

Posting Komentar